Sejarah fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, ketika itu dua orang tukang potret Woodbury dan Page membuka studio foto pertama mereka di sekitar Harmonie, Batavia. Ini terjadi hanya berselang 18 tahun setelah penemuan dunia fotografi pada tahun 1839. Sejak adanya studio foto di Batavia, banyak para tukang foto baik yang profesional maupun amatir membuat gambar hiruk pikuk kota dengan keanekaragaman etnisnya. Tentunya saat itu masih dengan menggunakan teknologi yang sangat sederhana, berupa kamera berukuran besar yang sangat berat, lensa yang mudah pecah, dan proses pembuatan gambar yang memakan waktu lama. Saat itu hanya dapat dibuat gambar dari obyek dengan posisi statis dan belum memungkinkan untuk membuat gambar dengan obyek bergerak. Tidak heran, foto-foto tertua hasil cetakan Woodbury dan Page yang menampilkan sebuah kota selalu sepi karena obyek yang bergerak tidak nampak dalam foto.
Sebagian besar foto pada masa itu dibuat dalam studio. Karenanya terdapat gambar pedagang makanan dengan para pembelinya membelakangi sebuah layar. Tampaknya untuk membuat foto ini, pedagang dan pembelinya harus digiring masuk studio foto. Pada masa sesudahnya, para juru foto menemukan pasar peminat foto-foto yang menurut kacamata Barat sangat eksotik, seperti foto seorang pengrajin, warung, wayang, penari ronggeng, dan pecandu opium. Kesemuanya harus masuk ke studio untuk dijepret juru potret dengan latar belakang gambar pohon palem atau hutan tropis untuk menciptakana suasana Asia (Indonesia).
Pada tahun 1900 terjadi kemajuan teknologi kamera yang dibuat lebih ringan dan tidak memerlukan waktu lama dalam pengambilan gambarnya yang memungkinkan para jurufoto mengambil foto di luar studio. Setelah 1920 kamera semakin ringan, harganya pun makin murah. Masyarakat Belanda di Batavia lantas banyak mengirimkan foto-foto pada keluarga mereka di negeri Belanda dan para wisatawan yang datang ke Batavia juga membuat foto kenang-kenangan mereka sebagai cinderamata. Banyak dari foto ini yang kemudian disumbangkan ke museum yang kini menjadi warisan penting bagi kita.
Di antara foto-foto yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta terlihat suasana di Pasar Pagi, Glodok, Jakarta Kota pada tahun 1930-an. Pasar ini masih nampak sepi baru berupa warung-warung kecil. Padahal pada tahun 1970-an pasar ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan grosir terbesar di ibukota yang kini telah dipindahkan ke Manggadua.
Jalan Jatinegara Timur yang kini merupakan kawasan pertokoan paling ramai di Jatinegara, di foto kuno itu tampak lalu lintasnya masih didominasi sado dan sepeda pada 1920-an. Tidak terlihat mobil satupun yang melintas. Tapi, suasana di Pasar Gambir (kini Monas) di foto yang diambil dari udara tampak menyedot pengunjung pada 1920-an. Pasar Gambir diadakan tiap tahun sejak 1898 untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina dari Belanda (nenek dari Ratu Beatrix sekarang). Rupanya minat penduduk Batavia yang belum berjumlah setengah juta jiwa kala itu untuk menonton Pasar Gambir tidak kalah dengan padatnya PRJ (Pekan Raya Jakarta) sekarang.
Di Museum Sejarah DKI kita dapat melihat kembali bagaimana indahnya Hotel Des Indes di Jl Hayam Wuruk. Sampai awal 1960-an hotel itu merupakan hotel terbaik di Jakarta sebelum dibangun HI. Foto lain menunjukkan sebuah toko milik orang Arab di Batavia yang pemiliknya memakai jubah, sorban, dan peci putih. Barang dagangan yang digelar layaknya banyak terlihat di Tanah Abang sekarang ini. Seperti, minyak wangi, madu, korma, dan tasbih. Tampak pula pedagang Cina dengan rambut dikepang tengah menjual tekstil keliling kampung memakai keranjang seperti tukang loak. Masih ada foto pedagang India di Pasar Baru yang berjualan tekstil dan jasa penjahitan. Diantara foto tahun 1950, tampak trem yang penumpangnya membludak tidak kalah dengan KRL Jabotabek sekarang ini. Itulah secuil jepretan tukang potret kuno tentang kehidupan sehari-hari di Betawi di masa 1857-1950.
Source: Republika
No comments:
Post a Comment